“Itulah yang dilakukan semua orang belakangan ini, kan?”
“Memperbaiki”
“Orang-orang seperti..mempunyai semacam obsesi untuk menjadi pahlawan”
“Memperbaiki sesuatu yang tidak layak diperbaiki sampai mereka lupa kalau diri mereka juga menderita”.
Dia mengucapkan itu dengan emosi yang berusaha ditahan-tahan. Menatapku seolah-olah berusaha membaca pikiranku.
Keheningan menghampiri kami untuk sesaat. Lalu, terdengarlah suara keluar dari bibirnya.
“Kamu juga seperti itu, kan?”. Ucapnya tanpa melepaskan tatapannya.
“Memangnya kamu enggak?” Sanggahku dengan cepat.
“Jangan khawatir, aku sudah melalui semua itu, merasakan semua sakitnya, dan masih saja aku tidak mendapatkan apapun..”
“Kecuali derita”
Ia masih menatapku namun bisa kulihat jelas jika tatapannya kosong. Aku yakin pikirannya sedang berkelana ke masa lalu. Ke suatu masa dimana harus menerima luka yang tidak pernah dimintanya. Yang membuatnya bisa berargumen dengan begitu yakinnya seperti itu.
Aku bisa saja membantah argumennya itu. Memberikannya nasihat, ceramah, pencerahan, atau apapun itu.
Tapi yang bisa kulakukan hanya terdiam, menatapnya lekat-lekat, berusaha mencari kata-kata penghiburan yang bisa kuberikan untuknya.
“Btw, makanannya udah abis..kayaknya aku mau pesan lagi deh”. Lalu ia bangkit, menggeser kursi, dan melangkah ke meja kasir.
Dan masih saja aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Hanya hening yang tersisa di ruangan ini.